Sabtu, 26 Juli 2008

Bayi Kembar Siam Lahir di Rumah Sakit Baptis Batu


Pada hari Sabtu malam tanggal 21 Oktober 2006 bayi kembar siam dengan satu tubuh, dua kepala, empat tangan dan sepasang kaki serta satu kelamin atau dalam istilah kedokteran disebut thoracopagus (bayi dempet dada) lahir di Rumah Sakit Baptis Batu. Bayi kembar siam yang berjenis kelamin perempuan ini merupakan putri dari pasangan suami istri Supriyono (37) dan Lasemi (30) , warga RT 02/RW 03 Dusun Gangsiran, Kelurahan Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu.

Bayi yang diberi nama Naila Asmaul Husna dan Laila Asmaul Husna ini memiliki dua tulang belakang, satu tubuh sebelah kiri dengan panjang 39 centimeter dan satu tubuh sebelah kanan 37 centimeter. Sedangkan jumlah jantungnya tidak diketahui secara pasti.

Proses persalinan bayi memprihatinkan ini, dilakukan dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi RS. Baptis Batu mulai pukul 20.37 WIB - 22.30 WIB melalui operasi sectio caesaria setelah mendapat rujukan dari bidan yang menangani persalinan Lasemi. Berat lahir bayi kembar siam tersebut 3,5 kilogram.

Untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif bayi dengan kondisi memprihatinkan ini, pada hari Selasa 24 Oktober 2006 dirujuk Rumah Sakit Baptis Kota Batu ke Rumah Sakit Umum (RSU) Saiful Anwar, Kota Malang.

Selama dirawat di RSSA Malang, dibentuk tim dokter khusus yang menangani Naila dan Laila dan diketuai dr.Respati S.Drajat Sp OT yang dibantu beberapa dokter spesialis dan perawat khusus.

Tim dokter menetapkan tiga skenario yakni tahap pertama selama tiga bulan hanya membantu perkembangan bayi dengan memberikan nutrisi lengkap, tahap kedua tim melakukan intervensi pada tubuh bayi dengan melakukan pemeriksaan terhadap organ tubuh bayi.

Sedangkan tahap ketiga adalah pemisahan (operasi). Namun dari hasil pemeriksaan organ-organ dalam tubuh bayi ternyata tidak bisa dipisahkan, karena adanya beberapa organ dalam Naila dan Laila menjadi satu, kalaupun dilakukan salah satu harus ada yang dirugikan.

Organ tubuh yang harus dihilangkan tersebut diantaranya dua tangan yang berada dipunggungnya, diantara kepala Naila dan Laila.

Selama dalam perawatan tim dokter RSSA, kondisi kesehatan dan perkembangan Naila dan Laila terus membaik. Pada saat masuk RSSA berat badannya hanya 3,5 kg dan saat dibawa pulang sudah mencapai 4,9 kg.

Naila dan Laila Asmaul Husna putri pasangan Supriyono-Laseni warga Junrejo, Batu, akhirnya diijinkan pulang, setelah dirawat intensif selama enam bulan oleh Tim Dokter Rumah Sakit Syaiful Anwar (RSSA) Malang.

Namun pada tanggal 13 April 2007 bayi kembar siam Nayla dan Laila Asmaul Husna sekitar pukul 10.50 WIB, Jumat, meninggal dunia di Rumah Sakit Paru Batu, Malang, Jawa Timur, setelah sekitar 10 menit ditangani di UGD. Waktu datang di UGD RS Paru Batu bayi tersebut mengalami sesak nafas, setelah selama 3 hari sebelumnya menderita penyakit seperti pilek dan diare yang tak kunjung berhenti.

Menurut Wikimedia, Kembar siam adalah keadaan anak
kembar di mana tubuh keduanya bersatu. Hal ini terjadi apabila zigot dari bayi kembar identik gagal terpisah secara sempurna. Kemunculan kasus kembar siam diperkirakan adalah satu dalam 200.000 kelahiran. Yang bisa bertahan hidup berkisar antara 5% dan 25%, dan kebanyakan (75%) berjenis kelamin perempuan.

Istilah kembar siam berawal dari pasangan kembar siam terkenal Chang dan Eng Bunker (1811-1874) yang lahir di Siam (sekarang Thailand). Kasus kembar siam tertua yang tercatat adalah Mary dan Eliza Chulkhurst dari Inggris yang lahir di tahun 1100-

Penyebab Kelahiran Kembar

Banyak faktor diduga sebagai penyebab kehamilan kembar. Selain faktor genetik, obat penyubur yang dikonsumsi dengan tujuan agar sel telur matang secara sempurna, juga diduga ikut memicu terjadinya bayi kembar. Alasannya, jika indung telur bisa memproduksi sel telur dan diberi obat penyubur, maka sel telur yang matang pada saat bersamaan bisa banyak, bahkan sampai lima dan enam.

Proses

Secara garis besar, kembar dibagi menjadi dua. Monozigot, kembar yang berasal dari satu telur dan dizigot kembar yang berasal dari dua telur. Dari seluruh jumlah kelahiran kembar, sepertiganya adalah monozigot. Kembar dizigot berarti dua telur matang dalam waktu bersamaan, lalu dibuahi oleh sperma. Akibatnya, kedua sel telur itu mengalami pembuahan dalam waktu bersamaan. Sedangkan kembar monozigot berarti satu telur yang dibuahi sperma, lalu membelah dua. Masa pembelahan inilah yang akan berpengaruh pada kondisi bayi kelak.

Masa pembelahan sel telur terbagi dalam empat waktu, yaitu 0 - 72 jam, 4 - 8 hari, 9-12 dan 13 hari atau lebih. Pada pembelahan pertama, akan terjadi diamniotik yaitu rahim punya dua selaput ketuban, dan dikorionik atau rahim punya dua plasenta. Sedangkan pada pembelahan kedua, selaput ketuban tetap dua, tapi rahim hanya punya satu plasenta. Pada kondisi ini, bisa saja terjadi salah satu bayi mendapat banyak makanan, sementara bayi satunya tidak. Akibatnya, perkembangan bayi bisa terhambat. Lalu, pada pembelahan ketiga, selaput ketuban dan plasenta masing-masing hanya sebuah, tapi bayi masih membelah dengan baik.

Pada pembelahan keempat, rahim hanya punya satu plasenta dan satu selaput ketuban, sehingga kemungkinan terjadinya kembar siam cukup besar. Pasalnya waktu pembelahannya kelamaan, sehingga sel telur keburu berdempet. Jadi kembar siam biasanya terjadi pada monozigot yang pembelahannya lebih dari 13 hari.

Dari keempat pembelahan tersebut, tentu saja yang terbaik adalah pembelahan pertama, karena bayi bisa membelah dengan sempurna. Namun, keempat pembelahan ini tidak bisa diatur waktunya. Faktor yang mempengaruhi waktu pembelahan, dan kenapa bisa membelah tidak sempurna sehingga mengakibatkan dempet, biasanya dikaitkan dengan infeksi, kurang gizi, dan masalah lingkungan.

Persentase hidup

Sejumlah kesimpulan medis menyebutkan, terjadi satu kasus kembar siam untuk setiap 200 ribu kelahiran. Jadi, jika Indonesia berpenduduk 200 juta, ada peluang 1.000 kasus kembar siam!. Dari semua kelahiran kembar siam, diyakni tak lebih dari 12 pasangan kembar siam yang hidup di dunia. Saat dilahirkan kebanyakan kembar siam sudah dalam keadaan meninggal, yang lahir hidup hanya sekitar 40 persen.

Dari mereka yang lahir hidup, 75 persen meninggal pada hari-hari pertama dan hanya 25 persen yang bertahan hidup. Itu pun sering kali disertai dengan kelainan bawaan dalam tubuhnya (incomplete conjoined twins). Apakah itu organ pada bagian ekstoderm, yakni kulit, hidung dan telinga, atau mesoderm yang mencakup otot, tulang dan saraf, atau bias juga indoderm, yakni bagian organ dalam seperti hati, jantung, paru dan otak.

Pembagian jenis kembar siam

Kembar siam itu sendiri yang kebanyakan berjenis kelamin perempuan, terbagi dalam beberapa jenis kasus, yang didasari posisi pelekatan keduanya.

Dari seluruh kembar dempet, kebanyakan dempet terjadi pada empat anggota tubuh, yaitu dada sebanyak 40 persen, perut 35 persen, kepala 12 persen dan panggul antara enam hingga sepuluh persen.

Ada beberapa jenis kembar siam:

  • Thoracopagus: kedua tubuh bersatu di bagian dada (thorax). Jantung selalu terlibat dalam kasus ini. Ketika jantung hanya satu, harapan hidup baik dengan atau tanpa operasi adalah rendah. (35-40% dari seluruh kasus)
  • Omphalopagus: kedua tubuh bersatu di bagian bawah dada. Umumnya masing-masing tubuh memiliki jantung masing-masing, tetapi biasanya kembar siam jenis ini hanya memiliki satu hati, sistem pencernaan, diafragma dan organ-organ lain. (34% dari seluruh kasus)
  • Pygopagus (iliopagus): bersatu di bagian belakang. (19% dari seluruh kasus)
  • Cephalopagus: bersatu di kepala dengan tubuh yang terpisah. Kembar siam jenis ini umumnya tidak bisa bertahan hidup karena kelainan serius di otak. Dikenal juga dengan istilah janiceps (untuk dewa Janus yang bermuka dua) atau syncephalus.
    • Cephalothoracopagus: Tubuh bersatu di kepala dan thorax. Jenis kembar siam ini umumnya tidak bisa bertahan hidup. (juga dikenal dengan epholothoracopagus atau craniothoracopagus)
  • Craniopagus: tulang tengkorak bersatu dengan tubuh yang terpisah. (2%)
  • Dicephalus: dua kepala, satu tubuh dengan dua kaki dan dua atau tiga atau empat lengan (dibrachius, tribrachius atau tetrabrachius) Abigail dan Brittany Hensel, adalah contoh kembar siam dari Amerika Serikat jenis dicephalus tribrachius.
  • Ischiopagus: kembar siam anterior yang bersatu di bagian bawah tubuh. (6% dari seluruh kasus)
  • Ischio-omphalopagus: Kembar siam yang bersatu dengan tulang belakang membentuk huruf-Y. Mereka memiliki empat lengan dan biasanya dua atau tiga kaki. Jenis ini biasanya memiliki satu sistem reproduksi dan sistem pembuangan.
  • Parapagus: Kembar siam yang bersatu pada bagian bawah tubuh dengan jantung yang seringkali dibagi. (5% dari seluruh kasus)
  • Diprosopus: Satu kepala dengan dua wajah pada arah berlawanan.

Kasus kembar siam di Indonesia

Seperti halnya belahan dunia lain, kasus kembar siam juga terjadi di Indonesia. Kemajuan dan kemampuan tenaga medis Indonesia berikut peralatan kedokteran yang cukup membanggakan, membuat operasi bisa dilangsungkan di Tanah Air. Namun ada juga yang harus dibawa ke luar negeri. Berikut beberapa kasus kembar siam lainnya yang terjadi di Indonesia.

Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani

Operasi pemisahan kembar siam dempet kepala Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani merupakan kesuksesan besar dalam dunia kedokteran di Tanah Air karena dempet kepala pertama yang berhasil dipisahkan di Indonesia.

Yuliana dan Yuliani lahir di RS Tanjung Pinang, Riau, pada 31 Juli 1987. Kondisinya saat itu dempet kepala di bagian ubun-ubun (craniopagus vertical). Saat dioperasi selama 13 jam pada 21 Oktober 1987, mereka masih berusia 2 bulan 21 hari. Proses pemisahan yang dipimpin Prof. Dr. R.M. Padmosantjojo dengan total 96 dokter, berlangsung di RS Cipto Mangunkusomo dengan biaya Rp 42 juta. Saat ini keduanya tinggal bersama orangtuanya Tularji dan Hartini di Tanjungpinang, Riau.

Kasus mereka menjadi momentum. Ini untuk pertama dokter Indonesia berhasil memisahkan bayi kembar siam yang dempet pada tengkorak kepala. Jarang kembar siam dengan kondisi seperti mereka yang selamat dari meja operasi. Termasuk yang tidak selamat itu adalah kembar siam asal Iran Ladan-Laleh Bijani. Kelahiran bayi kembar siam memiliki rasio 1:200 ribu kelahiran, tetapi kembar dengan bagian atas kepala menyatu atau craniopagus memiliki persentasi dua persen dari rasio tersebut. Hanya 15 persen kembar craniopagus hidup hingga usia lima tahun dan hanya satu yang mencapai usia dewasa.

Anandya Yoris Safadia dan Anindya Yoris Safadia

Bayi kembar siam Anandya Yoris Safadia dan Anindya Yoris Safadia yang dilahirkan 1 Juni 1998 dengan bagian tengah dada dan perut berdempet (thoraco-abdominopagus). Organ kedua bayi tersebut terpisah. Bagian tubuh yang menyatu hanya lapisan dalam dinding perut (peritoneum) dan lemak usus (omentum). Sedangkan jantung, hati, usus, dan organ dalam perut lainnya terpisah.

Pemisahan kedua putri Muhammad Jumain dan Yuli Astuti ini berlangsung selama 1,5 jam di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang, pada 25 Mei 1999, dan berakhir sukses. Anggota tim dokter yang terlibat antara lain Prof Dr dr H Faik Heyder, dr H Yulianto, dr FX Soetoko dan dr Karsono.

Perina Nurfarida dan Perani Nuraida

Kembar siam Perina Nurfarida dan Perani Nuraida lahir di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tanggal 21 April 2002. Bayi pasangan Nunik dan Dian tersebut termasuk tipe omfalofagus yang menyatu rongga perut dan panggulnya.

Hasil pemeriksaan menunjukkan terjadi penyatuan hati dengan penampang perlengketan 11,5 x 11 cm. Selain itu, ujung usus halus dan usus besar menyatu dan bermuara pada kloaka, rongga dalam tubuh bawah, bersama saluran dari kandung kemih. Pada masing-masing bayi terdapat sepasang ginjal dengan sistem saluran kemih menyilang satu sama lain.

Meski kedua tulang panggul terpisah, mereka hanya memiliki satu ovarium dan satu uterus rudimenter. Bayi tersebut menjalani operasi dua tahap. Namun, kemudian mereka meninggal dunia setelah menjalani operasi tahap kedua, yakni pemisahan tubuh mereka pada tanggal 26 Februari 2003.

Nugroho Yuliana dan Nugroho Yuliani

Kembar siam Nugroho Yuliana dan Nugroho Yuliani merupakan anak pasangan Suyono dan Sri Mariyati asal Desa Balerejo, Madiun, Jawa Timur. Keduanya lahir melalui operasi ceasar di RSUD dr Soedono Madiun pada 3 Maret 2003. Pihak RSUD dr Soedono Madiun merujuk bayi kembar siam tersebut ke RSUD Dr Soetomo Surabaya karena tidak mampu menanganinya.

Prof. Soegeng Soekamto Martprawiro, seorang ahli patologi turut serta memisahkan Yuliana dan Yuliani pada Minggu 21 Maret 2003, beberapa jam setelah kembar siam itu meninggal dunia sekitar pukul 04.50 Wib. Pemisahan tetap dilakukan atas permintaan orang tua si kembar siam, lantas di masukkan dalam peti dan dimakamkan secara terpisah di desanya.

Tim dokter menyatakan Yuliana dan Yuliani meninggal akibat thorako ompalo fagus atau mengalami kegagalan bawaan fungsi-fungsi organ secara multiple. Kelainan itu antara lain otak bayi mengalami pembengkakan karena kekurangan oksigen. Selain itu, tulang dada dan leher keduanya saling menarik. Kedua bayi ini pun hanya memiliki satu kantung jantung, sementara paru-parunya mengembang tidak sempurna.

Faktor inilah yang antara lain membuat dokter sejak awal berkesimpulan bayi ini tak mungkin dipisahkan. Kalaupun dipaksa dipisahkan bayi kembar ini akan meninggal di meja operasi. Saat meninggal berat kedua bayi 5,5 kg dan mereka merupakan bayi kembar siam ke-16 yang pernah ditangani RSUD Dr Soetomo.

Abdurrahman dan Abdurrohim

Seperti kembar siam lainnya, Abdurrahman dan Abdurrohim pun punya kelainan fisik saat dilahirkan. Mereka dempet di bagian panggul, tanpa anus, jantung salah satu bayi terletak di sebelah kanan, padahal harusnya di kiri. Rongga panggul juga cuma satu dan keduanya hanya punya satu kelamin dan satu testis. Keduanya diperkirakan berjenis kelamin lelaki, karena biasanya, kembar siam punya jenis kelamin sama, karena berasal dari satu telur.

Abdurrahman dan Abdurrohim merupakan anak ke delapan dan ke sembilan pasangan Rodiah dan Asep, penduduk Sindang Palay, Desa Rahayu, Kec. Margaasih, Bandung, Jawa Barat. Proses caesar membantu kelahiran mereka pada 12 Juli 2003 di RS Astana Anyar, Bandung. Sehari berikutnya kedua kedua bayi langsung dibawa ke RS Hasan Sadikin, Bandung.

Namun dalam usia 13 hari, akhirnya meninggal dunia dalam perawatan di ruang Neonatal Intensive Care unit (NICU) RS Hasan Sadikin sebelum sempat dioperasi. Bayi Abdurachman meninggal lebih dulu sekitar pukul 07.00 Wib, disusul adiknya Abdurachim yang meninggal sekitar pukul 09.10 Wib. Keduanya mengalami kesulitan spontanitas bernafas sehingga harus memakai alat bantu pernapasan (ventolator) serta ditemukannya kuman yang sudah resisten terhadap antibiotik. Selain itu kedua bayi itu mengalami kelainan dalam darahnya, kandungan trombosit, lekosit dan haemoglobin berada di bawah normal.

Manna dan Salwa

Ketika melahirkan prematur pada 25 Juli 2003 Ani Aristin, warga Desa Gladak Kembar, Purwoasri, Banyuwangi, Jawa Timur, mendapatkan tiga bayi kembar. Namun dua di antaranya berdempet. Kembar siam yang belakangan diberi nama Manna dan Salwa, langsung dibawa sang suami Muhammad Hakim Firman ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sementara Salma, kembar satu lagi yang tidak dempet dengan seperti dua saudara kembarnya, tetap bersama sang ibu di RS Perkebunan Bhakti Husada, Desa Krikilan, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur.

Manna dan Salwa dempet dada hingga pinggang, dengan hanya memiliki sepasang kaki dan dua pasang tangan. Tim dokter RSUD Dr Soetomo yang diketuai Prof dr Silvy Damanik SpA telah memutuskan untuk tidak melakukan operasi pemisahan pada keduanya, karena resiko kematian yang dihadapi cukup besar

Siti Maryati dan Siti Maryani

Proses kelahiran kembar siam Siti Maryati dan Siti Maryani dilakukan melalui operasi caesar pada 17 Januari 2004, di RS Marga Husada, Wonogiri, Jawa Tengah. Keduanya anak pasangan Daryono dan Luluk Kusnaeni, penduduk Desa Pencil, Kecamatan Jatisrono, Wonogiri.

Mereka hanya dempet sangat tipis di perut sepanjang dua centimeter dan tidak ada organ dalam yang menyatu. Pemisahan kembar siam ini berhasil dilakukan melalui operasi selama dua jam pada 11 Februari 2004 oleh 40 dokter yang diketuai Prof Achmad Surjono, dari RSUP Sardjito, Yogyakarta. Saat itu usia keduanya baru 24 hari dan dinyatakan dapat dibawa pulang pada usia 44 hari.

Ini adalah operasi kembar siam pertama yang dilakukan RSUP Dr Sardjito. Sebelumnya, rumah sakit ini pernah menangani tiga kasus kembar siam sejak tahun 1970-an. Namun, mereka umumnya meninggal terlebih dulu sebelum dioperasi dalam usia berkisar lima sampai tujuh hari.

Anggi dan Anjeli

Ketika akhirnya Anggi dan Anjeli di bawa ke Singapura untuk menjalani operasi, itu karena sejumlah rumah sakit mengaku tidak mampu melakukan pemisahan. Di mulai dari RS Vita Insani, Pematang Siantar dan RSUP Adam Malik Medan di Sumatera Utara, hingga RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Alasannya resiko kematian yang tinggi.

Maka kembar siam yang lahir 11 Februari 2004, ini pun menjalani operasi pemisahan di Rumah Sakit Gleaneagles, Singapura. Jauh meninggalkan kampung halamannya di Desa Kampung Baru, Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Simalungun, Sumatera Utara, sekitar 200 kilometer dari Medan, untuk menjalani operasi berbiaya hingga Rp 5 miliar.

Seperti halnya pasangan pemilik bayi kembar siam, pasangan Subari dan Neng Harmanian akhirnya bisa membawa anak kedua dan ketiganya ke Singapura atas bantuan sejumlah dermawan. Saat operasi pemisahan selama sembilan jam pada Sabtu 21 Mei 2005, tim dokter berjumlah 15 orang yang dipimpin dr Tan Kai Chah, dilakukan beberapa rekayasa medis pada Anggi dan Anjeli karena memiliki kelainan lubang anus, kelamin, pinggul, perut besar, usus dan lambung. Dari tiga kaki yang ada sedari lahir, akhirnya masing-masing hanya mendapat satu kaki. Keduanya tiba di Tanah Air pada 18 Juli 2005.

Arda dan Ardi

Naas menimpa kembar siam Arda dan Ardi, anak pertama pasangan Sutikno dan Marlina, warga Desa Kampung Wates, Kecamatan Teluknaga, Tangerang, Jawa Barat. Arda dan Ardi akhirnya meninggal dunia pada 12 April 2004 sebelum menjalani operasi. Pihak keluarga menduga pihak rumah sakit lamban dan tidak maksimal memberikan penanganan.

Ardi, meninggal sekitar 00.30 Wib, sedangkan Arda jam 09.00 Wib. Dempet dari leher sampai perut ini lahir 9 April 2004 dengan bantuan bidan. Karena keadaannya dempet, lantas diujuk ke RSUD Tangerang dan selanjutnya dirujuk lagi ke RS Cipto Mangunkusomo, Jakarta dan meninggal di sana.

Dwipayani dan Dwipayanti

Kembar siam Dwipayani dan Dwipayanti merupakan putri pasangan I Gusti Ayu Ketut Sriyani dan Gusti Eka Laya Kunta, seorang anggota polisi berpangkat Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) yang tinggal di Desa Mengwi, Denpasar, Bali. Kembar siam ini lahir pada 1 Mei 2004, dengan kondisi dempet pada bagian dada hingga perut.

Operasi pemisahan berbiaya Rp 532 juta, dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur. Sebelum menjalani pemisahan, kembar siam ini terlebih dahulu menjalani operasi tissue expander, memasukkan sebuah alat untuk pengembangan jaringan kulit sebelum operasi pemisahan. Pada Sabtu, 29 Januari 2005, sekitar pukul 15.50 Wita, sebanyak 42 anggota tim dokter yang menangani operasi berhasil memisahkan keduanya. Ini merupakan pasien kembar siam ke 17 yang ditangani RSUD Dr Soetomo.

Sayangnya, pada 3 Februari, atau lima hari pasca operasi, Dwipayani meninggal dunia saat dalam perawatan di rumah sakit karena kebocoran di jantungnya. Dia dikuburkan di Setra Kekeran, Mengwi, Bali. Sedangkan Dwipayanti dalam keadaan sehat hingga kini.

Ahmad Mukti Abadi dan Amir Machmud

Setelah menjalani operasi selama lebih dari lima jam, akhirnya tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya berhasil memisahkan bayi kembar siam tidak sempurna (incomplete conjoined twin), Ahmad Mukti Abadi dan Amir Machmud, putra M Rizqon dan Munatin. Dr Teguh Sylvaranto SpAn KIC memimpin operasi pemisahan yang melibatkan 25 orang dokter itu pada 2 Juni 2005, ketika kembar siam itu masih berusia 104 hari.

Saat lahir pada 15 Februari 2005, kondisi normal terlihat pada tubuh Abadi. Sementara kondisi kembarannya Machmud tumbuh tidak lengkap. Amir disebut sebagai bayi parasit karena menempel pada tubuh Abadi. Machmud hanya mempunyai liver, limpa, sepasang ginjal. Namun belakangan Mahmud ternyata mengalami perkembangan pesat.

Mia Ayu Lestari dan Nia Ayu Lestari

Proses pemisahan kembar siam perempuan Mia Ayu Lestari dan Nia Ayu Lestari yang dilakukan di Rumah Sakit (RS) Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sebenarnya berlangsung sukses. Kondisi keduanya pasca operasi lumayan baik. Namun akhirnya anak kedua dan ketiga pasangan Nurlela dan Mulyadi yang lahirkan pada 22 Maret 2005 ini meninggal dunia. Penyebabnya karena kondisi beberapa organ tubuh menurun, terutama pernapasan dan pencernaan. Aliran darah dan fungsi jantung juga mengalami kemunduran.

Operasi pemisahan dempet pada bagian perut ini berlangsung selama empat jam pada 11 Juni 2005. Mia Ayu Lestari atau Nurlela I akhirnya meninggal dunia pada 29 Juni 2005, dalam usia tiga bulan atau 18 hari setelah operasi. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman keluarga di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat, persis di samping makam Nia Ayu Lestari atau Nurlela II, saudara kembar siamnya yang meninggal terlebih dahulu pada 17 Juni 2005.

Listiani 1 dan Listiani 2

Dalam kasus terakhir, pada 19 September 2005 lalu lahir prematur kembar siam dempet di bagian dada dan perut. Berat lahirnya 3,4 kilogram dan panjang 32 sentimeter. Kembar siam laki-laki yang belum diberi nama itu merupakan anak pertama pasangan Made Yasa Antara dan Wayan Listiani yang bermukim di Banjar Pengorekan, Ubud, Gianyar, Bali.

Diagnosa awal menunjukkan bayi Listiani hanya memiliki satu jantung yang ternyata juga memiliki kelainan pula. Serambi yang dimiliki cuma satu, bilik dua dan ada kebocoran di dua tempat. Kerja pembuluh darahnya juga tidak teratur. Darah kotor dan darah bersih bercampur, sehingga kasus ini disebut juga bayi biru. Selain itu, hati atau livernya juga menyatu.

Karena belum diberi nama, kembar siam itu disebut Listiani 1 dan Listiani 2. Saat dalam perawatan di RS Sanglah, Bali, keduanya meninggal dunia pada hari Kamis, 29 September 2005 sekitar pukul 14.00 Wita. Penyebab utamanya gagal jantung. Hal yang sudah diperkirakan dokter sejak awal.

Foot prints

Our duty

Love

Hello World...

If I speak with the tongues of men and of angels, but have not love, I am become sounding brass, or a clanging cymbal.

And if I have the gift of prophecy, and know all mysteries and all knowledge; and if I have all faith, so as to remove mountains, but have not love, I am nothing.

And if I bestow all my goods to feed the poor, and if I give my body to be burned, but have not love, it profiteth me nothing.